Senin, 04 Mei 2009

Sakura Lut Tawar/ Jenyung Bukit





JENYUNG BUKIT SAKURA LUT TAWAR

“Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk (Nya). di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S Ar-Rahman : 10 -13).

Firman Allah di atas adalah inspirasi penulis untuk menghayati dan merenungkan Kebesaran sang Khalik yang sungguh Maha Kaya, yang menumbuhkan Jenyung Bukit di dataran tinggi gayo.

Subhanallah… spontan bibir kami berucap, suatu hari di bulan Nopember tahun 1996, penulis bersama dengan seorang guru Loka Bina Karya Aceh Tengah “Pak Santoso” (dahunya sebelum konflik beliau tinggal di Conto/Sukadamai), kami berjalan kaki dari arah desa Toweren menuju Loyang Koro dengan maksud untuk membuktikan cerita penulis tentang tetesan air yang mengkristal menjadi batu di Gua Loyang Koro kepada guru tersebut. Ketika kami hendak menuruni jalan setapak, kami terkesima melihat karya Yang Maha Agung tersebut, rasa penasaran menghipnotis kami, tanpa aba-aba secara bersamaan kami mendekati tumbuhan tersebut. Bentuk bunga mirip anggrek, warna merah muda merona bunga Jenyung bukit yang lengket di dahan tanpa daun memancarkan daya tarik serta keunikan yang luar biasa, batangnya berkulit sedikit tebal agak bergetah, struktur kandungan kayu tidak terlalu keras seperti kebanyakan pohon, serta daunnya yang tebal terlukis sempurna mengindikasikan kesempurnaan Penciptanya.

Penulis bertanya kepada guru penulis yang kebetulan ahli pertanian : Apa nama bunga ini pak? (tanya penulis), pak San masih terdiam, beliau sangat terkesan dengan penampilan Jenyung Bukit, beberapa lama kemudian beliau baru menjawab : Menurut pemikiran saya bunga ini adalah Anggrek Hutan, dan saya belum pernah melihat bunga ini sebelumnya di daerah-daerah lain. Ujar guru tersebut dengan intonasi suara tok-tok jawa.

Semenjak pengalaman itu, penulis berusaha menyelidiki dan meneliti keberadaan bunga Jenyung Bukit yang dahulu jumlah pokoknya di atas 30 batang, sekarang hanya tinggal antara 11-17 batang saja.

Diantara tebing celah bebatuan cadas, tumbuh berebut bumi dengan batu-batu besar, batangnya terpajang tegap, ranting-rantingnya berurai sederhana ke segala arah tidak terlalu melebar, jumlah cabangnyapun bisa dihitung dengan jemari, akarnya merayap mencari nafkah disela batu berbagi hara dengan tanaman lain yang bukan dari sukunya.

Alangkah sedih hati penulis, suatu ketika melihat cabang dan ranting-rantingnya kering, tanpa tunas, tanpa daun seolah mati, penulis merasa kehilangan, karena pada saat itu penulis belum sempat membibitkannya, sempat timbul rasa putus asa dan penyesalan dalam hati penulis. Tetapi sungguh Allah Maha Besar, sekali lagi Allah membuktikan silih bergantinya roda kehidupan yang berlaku juga bagi tumbuh-tumbuhan-Nya. Perlahan tapi pasti, ranting dan cabang yang tadinya kering kerontang, menumbuhkan tunas-tunas daun yang membawa harapan hidup baru setelah mati suri beberapa minggu. Ketebalan daunnya membalik kesan menutupi kegersangan, tersenyum menyapa hilir mudik kesibukan manusia yang melewatinya.

Sungguh suatu tamsil yang menyinggung rasa orang-orang yang berakal, Jenyung bukit ihlas menggugurkan daun-daun yang susah payah di dapatkanya demi untuk memenuhi syahwat mata-mata yang doyan keindahan. Jenyung bukit mengorbankan diri melepas segala kepentingan pribadinya, melukis alam dengan anugrah dan keindahan yang dimilikinya.

Bidadari yang rendah hati “Jenyung Bukit”, namanya mungkin tidak se tenar Renggali, harumnya mungkin tidak seharum seulanga. Tapi prinsip dan pengorbanannya patut kita renungkan, keindahan daya tariknya merupakan senjata andalan tanah-tanah gersang pinggiran danau Laut Tawar, keberadaannya menambah koleksi pesona alam kita.

Kekayaan ini sangat potensial bila dimanfaatkan, bisa menjadi seuntai bunga undangan kepada para wisatawan lokal maupun asing, untuk berkunjung ke daerah kita sekaligus membagi rizki kepada PAD dan masyarakat sekitar. Betapa indah Danau Lut Tawar ini, bila kita mampu membudiyakan dan menanam Jenyung Bukit di sekelilingnya, bila hal itu terwujud penulis sangat yakin Lut Tawar akan masuk dalam target utama wisatawan asing maupun lokal.

Melalui tulisan ini, penulis mengajak teman-teman yang peduli, mari sedikit kita luangkan waktumembenahi warisan abadi, mari bersama-sama kita menggali dan terus mencari anugerah yang disimpan Allah di dalam bumi Linge. Penulis yakin, masih banyak simpanan Allah di daerah kita ini.

Pengembangan Jenyung bukit merupakan tantangan yang tidak terlalu sulit, cukup di stek serta ditambahi zat perangsang akar ‘Rotune-F’ atau sejenisnya, Insya Allah dalam waktu satu bulan sudah tumbuh tunas baru dari cabang stekan. (kami siap bekerjasama dengan kawan-kawan, saling bahu membahu untuk membudidayakan Jenyung Bukit).

Takengon, 7 Juni 2008

Penulis,

ISRANUDDIN HARUN

Sekretaris LSM TAJUK Aceh Tengah

Tidak ada komentar: